Oleh: Karsun, S.P
Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada BPDAS Unda Anyar, Bali

Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dibagi dalam dua tipe, yaitu secara tidak langsung menjadikan hutan sebagai penyangga sistem kehidupan atau life supporting system, termasuk sistem pertanian pangan; dan secara langsung menjadikan hutan sebagai penyedia pangan (Forest for Food Provision). Peran hutan dalam mendukung ketahanan pangan melalui fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan, antara lain adalah: hutan sebagai pengatur tata air, hutan sebagai pengatur iklim mikro dan penyerap karbon, dan hutan sebagai sumber plasma nutfah (SDG).

Peran kawasan hutan sebagai pengatur tata air adalah melalui fungsi hidrologis sebagai penyerap, penyimpan, penghasil dan pendistribusi air. Penilaian peran hidrologis hutan secara normatif terkait dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai sistem tata air yang bersifat unik. Berdasarkan percobaan dan pengalaman yang ada menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan DAS saat ini difokuskan di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi yang secara ekologis berdekatan dengan wilayah hutan (Lal dan Russel, 1979). Dalam konteks ketahanan pangan, hal tersebut menjadi relevan. Kebijakan pengelolaan DAS merupakan langkah strategis dalam pemenuhan barang dan jasa tanpa berakibat pada kerusakan tanah, air dan sumberdaya alam lainnya, sehingga penting untuk menjamin ketahanan pangan dalam konteks hubungan hulu dan hilir (FAO, 1985). Kebutuhan air irigasi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Kerusakan fungsi hidrologis hutan oleh berbagai sebab membuat cadangan air tanah yang mendukung sistem irigasi semakin berkurang. Kerusakan hutan saat ini telah menyebabkan berbagai bencana seperti banjir dan kekeringan yang mengancam keberlanjutan pertanian pangan. Salah satu contoh peran kawasan hutan dalam mendukung ketahanan pangan adalah kawasan hutan pegunungan Batukaru dalam mendukung sistem pertanian padi di desa-desa yang ada di bawahnya seperti Desa Baturiti dan Jatiluwih.

Kawasan hutan pergunungan Batukaru merupakan salah satu daerah lembab dan basah di Pulau Bali. Struktur tajuk vegetasi yang rapat dan berlapis meningkatkan kelembaban lingkungan sekitarnya. Kelembaban ini dicirikan dengan banyaknya tumbuhan epifit dan lumut yang menempel di batang pohon. Berdasarkan data dari stasiun penakar curah hujan di Desa Baturiti, jumlah curah hujan rata-rata selama 5 (lima) tahun 2001-2005 berkisar 2.802 mm/th dengan jumlah hari hujan sebanyak 126 hari. Besarnya pasokan air yang sampai diserap oleh lantai hutan pada cloud forests, diketahui jauh lebih besar dari curah hujan yang diterima dari wilayah tersebut, yaitu lebih tinggi 20 % pada musim hujan dan bahkan lebih dari 100% pada musim kemarau. Karena itu, hutan ini dapat dikatakan sebagai “menara air” yang sanggup mensuplai air disaat kemarau. Peran hidrologis hutan tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan budidaya pertanian padi yang ada di Jatiluwih.

Pergerakan awan di Desa Jatiluwih setelah melintas dan berada di atas hutan Batukaru seolah awan itu tertahan dan sebagian lagi tersedot ke bawah sehingga sebagian kawasan tersebut menjadi tertutup awan (cloud stripping). Kondisi demikian mengakibatkan sebagian awan yang mengandung air tertahan dan terkumpul. Awan tersebut mengalami kondensasi dan setelah beberapa saat kemudian biasanya diikuti dengan turunnya hujan dengan kuntinuitas tertentu secara terus menerus. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kawasan hutan Gunung Batukaru berfungsi sebagai penangkap awan yang bergerak melintas di atasnya. Kejadian ini, berlangsung terus-menerus dan menyebabkan kawasan hutan Batukaru menjadi lembab dan basah atau disebut dengan hutan awan (cloud forest) atau hutan lumut (mossy forest). Kondisi tersebut menjadikan kawasan hutan Batukaru berfungsi sebagai tandon air yang men-suplai air bersih bagi masyarakat dan irigasi persawahan di Desa Jatiluwih. Jatiluwih merupakan salah satu ekspresi potret budaya dan keindahan alam di pulau Bali. Jatiluwih tenar di dunia karena panorama sawah berundak khas Bali. Wisatawan asing mengenalnya sebagai Balinese Rice Terrace. Jatiluwih terletak pada dataran tinggi pegunungan Batukaru memiliki luas 2.223 ha dengan luas sawah 503 ha berada di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.

Kegiatan pertanian sawah di Jatiluwih berlangsung secara terus-menerus sepanjang tahun. Salah satu keunggulan dari komoditas yang dihasilkan adalah beras merah. Kegiatan pertanian ini dapat terus berlangsung karena air tersedia secara terus menerus sepanjang musim baik musim penghujan maupun di musim kemarau. Hampir setiap daerah di Bali memiliki sawah berundak, namun, Jatiluwih memiliki keunikan dan keindahan tersendiri antara lain: hamparan sawah dengan teras mencapai lebih dari lima ratus hektar, memiliki komoditi unggulan berupa beras merah bahkan sudah diolah menjadi teh, berada di dataran pegunungan Batukaru dengan hawa yang sangat sejuk serta berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Sawah di Jatiluwih menggunakan sistem pengairan subak. Sistem subak seperti halnya sawah-sawah di Bali lainnya, merupakan sistem pengelolaan air yang sangat mendukung kontinuitas budidaya pertanian padi di Desa Jatiluwih. Subak merupakan organisasi petani yang mengelola saluran air untuk mengairi persawahan. Sistem ini digunakan masyarakat Bali secara turun temurun dan sarat dengan tradisi gotong royong dan kekeluargaan. Subak-pun kental dengan upacara keagamaan mulai saat masa menabur benih hingga padi disimpan di lumbung. Subak memiliki pura yang dibangun untuk penghormatan pada dewi kemakmuran dan dewi kesuburan.

Keindahan sawah Desa Jatiluwih merupakan kombinasi keserasian alam dan kebudayaan Bali yang unik dan beranekaragam dituntun atau berpedoman pada falsafah Hindu. Untuk menjaga keberlanjutan pertanian di Jatiluwih, pembangunan pertanian selalu berdasarkan pada penerapan konsep “Tri Hita Karana”. Konsep ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Keindahan sawah di Desa Jatiluwih menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik wisatawan manca negara, wisatawan domestik maupun wisatawan nusantara. Keunikan paduan alam, pertanian, dan budaya Bali yang kental, Jatiluwih masuk dalam nominasi warisan dunia UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk menjadikan Desa Jatiluwih sebagai Pusaka Alam Dunia (World Natural Heritage). Diusulkannya Desa Jatiluwih menjadi salah satu nominasi warisan budaya dunia akan mengangkat nama Desa Jatiluwih menjadi terkenal di dunia internasional. Popularitas Desa Jatiluwih akan mengundang pendatang untuk berkunjung. Banyaknya pengunjung yang datang ke Desa Jatiluwih akan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Manfaat tersebut tidak hanya Desa Jatiluwih, namun desa disekitarnya juga ikut merasakan dampak dari banyaknya pengunjung yang datang ke Desa Jatiluwih yang nantinya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Tabanan. Segenap lapisan elemen masyarakat patut berbangga dan mendukung atas penghargaan ini agar tetap menjaga pelestaran pertanian sawah di Desa Jatiluwih. Bentuk nyata dari upaya tersebut dapat dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian kawasan hutan pegunungan Batukaru agar fungsi hidrologis sebagai regulasi air tetap berfungsi dengan baik. Upaya tersebut perlu dilakukan karena dengan ikut menjaga kelestarian kawasan hutan Batukaru berarti ikut mendukung Desa Jatiluwih sebagai Lumbung Pangan, Desa Wisata, sekaligus sebagai Warisan Kekayaan Budaya Dunia.

Skip to content